Thursday 23 October 2008

Memuja Hidup dengan Kerja


Mungkinkah kerja tanpa pamerih di zaman serba tidak ada yang gratis, sekarang ini?

“ Karmany evadhikaras te ma phalesu kadacana ma karmaphala hetur bhur ma te sango ‘stv akarmani. ”
(“Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan sesekali pun menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajibanmu.”)
Sloka II.47 Bhagawad Gita itu kini menjadi sedemikian termasyhur di seantero jagat. Wejangan Sri Krishna kepada Arjuna

di tengah medan pertempuran keluarga Kuru itu menggema terus, melampaui batas ruang geografis, menembus batas zaman bergenerasi-generasi, memeluk hati insan manusia tanpa sekat etnis, bangsa, warna kulit, latar budaya—dan juga kavling agama.
“Bhagawad Gita menjelaskan evolusi batin manusia dengan sangat jelas dan sistematis, evolusi batin yang dapat mengangkat derajat manusia. Ia adalah intisari filsafat perenial yang paling jelas dan lengkap. Karena itu, ia penting bagi seluruh umat manusia, bukan terbatas bagi India saja,” sambut filsuf Barat, Aldous Huxley.
Di Timur, di tanah asalnya, Gita tak henti mengalirkan inspirasi semangat hidup. “Bhagawad Gita memberi landasan spiritual bagi keberadaan umat manusia. Ia adalah panggilan (bagi seluruh umat manusia) supaya berkarya dan menunaikan kewajibannya di dunia dengan tetap memperhatikan tujuan spiritual semesta yang jauh lebih penting dan mulia,” tutur Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.
Di Barat, tempat revolusi industri telah begitu melambungkan manusia ke keberlimpahan material, Gita kini justru menjadi pusat referensi manajemen bisnis para eksekutif. Setelah tak jua menemukan rasa bahagia mendalam dengan keberlimpahan materi duniawi, dengan mengikuti jurus seni perang model panglima perang Cina yang hidup kira-kira 500 SM, Sun Tzu, kini kalangan pebisnis di belahan dunia Barat justru mulai berpaling pada Gita wejangan Sri Krishna.
“Zaman telah berubah. Para eksekutif bisnis kini meninggalkan ajaran seni perang Sun Tzu dan beralih mengikuti petunjuk Bhagawad Gita yang penuh kedamaian,” simpul majalah mingguan internasional, Business Week, edisi Indonesia, 15-33 November 2006.
Dalam cermatan Business Week, era ketika Gordon Gekko, tokoh dalam film Wall Street keluaran 1987, dengan bangga mengutip Sun Tzu telah pudar. Bhagawad Gita kini justru mulai menggeser posisi The Art of War karya Sun Tzu sebagai referensi manajemen. Gekko, yang diperankan sangat gemilang oleh aktor kawakan Michael Douglas itu, dalam suatu rapat para pemegang saham berdiri angkuh dengan setelan jas necisnya yang mahal dan rambut tersisir rapi ke belakang. Tanpa rasa malu, eksekutif angkuh ini berkoar-koar memaparkan doktrin kapitalisme era tersebut.
“Keserakahan,” kata Gekko, “adalah hal yang baik. Keserakahan adalah hal yang tepat. Keserakahan benar berfungsi.” Setelah jeda sejenak, Gekko melanjutkan, “Keserakahan mengklasifikasi, membedah, dan merupakan pengejawantahan esensi semangat evolusi…”
Setelah semua peserta rapat terdiam oleh ‘sihir' doktrinnya, sang eksekutif perusahaan Teldar Paper ini pun menegaskan, “Keserakahan, ingat kata-kata saya ini, tidak hanya akan menyelamatkan Teldar Paper, tetapi juga perusahaan lain yang berada di ujung jurang kebangkrutan, yang bernama Amerika Serikat.”
Setelah beranak-pinak bertahun-tahun, keserakahan model Gekko itu pun kini mulai ditanggalkan—karena ongkos akibat keserakahan itu sungguh tak terkira: kehancuran ruang hidup dan kehidupan bersama umat manusia. Keserakahan, nyatanya, tidak bermanfaat bagi pertumbuhan hidup dan kehidupan. Keserakahan niscaya menghancurkan.
Setelah terbukti tak sanggup menghamparkan kebahagiaan sejati, doktrin Gordon Gekko, yang menjadi penghayat jempolan ajaran Sun Tzu itu pun, lamat-lamat tinggal hanya kenangan. Bagi Sun Tzu, tujuan utama hidup adalah memenangkan perang dengan menundukkan musuh. Untuk mencapai tujuan utama itu, Anda dibenarkan berbuat culas, curang, menggelar tipu muslihat. Begitulah keserakahan bekerja secara pasti, mengantarkan manusia menuju titik kehancuran.
Jenuh dengan jurus keserakahan memenangkan pertempuran perang, orang-orang kini mulai berbelok arah, merunut jalan kesadaran—bahkan kapitalisme pun belakangan ini mengenal kesadaran, conscious capitalism, yang berlandaskan rasa kepercayaan (trust) dan kesatuan-utuh (integrity) pikir, kata, dan laku. Dalam pada itulah, sebagaimana dilaporkan Business Week, Gita menjadi referensi utama. “Bhagawad Gita, naskah kuno Hindu, sepertinya lebih sesuai dengan semangat masa kini. Ia lebih fokus pada pikiran dan tindakan, bukan pada hasil,” simpul Business Week.
Sri Krishna dalam Gita memang tidak mengajak manusia berkutat pada cecabang, apalagi ranting-ranting masalah. Dia menusuk langsung ke akar penyebab munculnya masalah, yakni pikiran (citta) dan tindakan atau perbuatan (karma). Dalam kondisi manusia normal-normal saja, setiap tindakan atau karma niscaya meninggalkan bekas, jejak, pada pikiran. Namun, tidak berarti agar terlepas, terbebas dari bekas karma, manusia lantas sama sekali tidak bertindak. Sebagaimana dikutipkan dalam sloka di awal tadi, Gita bahkan secara tegas tak mematutkan—apalagi menganjurkan—orang untuk tidak berkarma (akarma).
Tugas mulia, kewajiban utama manusia hidup justru adalah berkarma. Tanpa berkarma, bahkan hidup pun sungguh tak mungkin. Bahkan, Krishna pun sangat terang dan jelas mengakui diri-Nya juga tak bebas dari berkarma. Karena itu, Krishna menganjurkan: berkarmalah sesuai dengan kewajibanmu (swadharma)—itulah dinamakan swakarma, sesuai dengan prinsip-prinsip keprofesionalan. Profesional dalam swadharma masing-masing, sekecil apa pun, jauh lebih mulia, agung, dan tepat tinimbang mengerjakan swadharma orang lain, sebesar dan sehebat apa pun. Dalam semangat Gita, setiap orang sebaiknya dan sepatutnya menjadi besar dalam swadharmanya masing-masing.
Yang terpenting kemudian, dalam visi Gita, bukan apa yang akan dikerjakan, lalu bagaimana hasilnya, melainkan: bagaimana orang akan mengerjakannya, dengan semangat bagaimana orang mengerjakannya? Di sinilah kitab suci Weda Kelima ini menyorot langsung akar muasal masalah kelahiran manusia yang bertubuh, yakni: pikiran.
Jika saat berkarma pikiran ini terikat pada hasil yang akan didapat, diperoleh—terlebih hasil material maupun psikologis duniawi—atas tindakan itu, berarti orang yang berkarma ini belum sadar. Hasil akhirnya justru adalah daur samsara, kelahiran berulang-ulang, dari satu keterikatan ke keterikatan lain. Logika matematisnya: manakala pikiran bermuatan, entah positif ataupun negatif, bukan nol, maka dia akan senantiasa menyisakan hasil atas setiap tindakan. Hanya manakala pikiran nol, tanpa muatanlah, tindakan tak akan membekas, layaknya jejak burung terbang di angkasa lepas. Itu dinamakan niskama karma.
Itu sebab, Gita menggariskan solusi akurat: berkarmalah tanpa mengharapkan hasil, imbalan-imbalan yang di luar, seperti honor tinggi, ketenaran, liputan pers, gengsi, kemenangan, dan seterusnya. Kegagalan atau keberhasilan sepatutnya diterima sama, rata (samatwam)—orang Bali menyebut dangsah, asah, patuh, rata. Gagal atau berhasil bukanlah urusan mendesak dan penting yang ditentukan oleh yang berbuat. Itu seyogyanya disadari sebagai kavling kuasa sang Maha Penyebab Maha Penentu, Hyang Maha Agung Maha Hidup.
Kewajiban orang yang berkarma hanyalah mengerjakan sebaik-baiknya, dengan tanpa beban. Untuk dapat mengerjakan sebaik-baiknya tentu diperlukan persiapan dan kesiapan—tak mungkin dengan asal-asalan atau sekadarnya. Dengan begitu, berkarma akan dirasakan sebagai bentuk pemujaan kepada Hyang Agung Maha Hidup, sehingga dorongan kerja dengan sendirinya datang dari ketulusmurnian terdalam. Bukan karena dorongan-dorongan dangkal dari luar.
Boleh jadi itulah yang oleh para tetua Bali masa lampau dinamakan ngayah, bekerja tanpa berharap imbalan (mabayah). Atau, ada tuara —dibayar atau tidak dibayar tetap sama. Lewat kerja ngayah, penari-penari sepuh, seperti I Kakul, Ni Reneng, I Geruh, penabuh I Lotring, atau undagi serba bisa sekelas Lempad, pelukis Gus Made Poleng, dan masih banyak lagi sezaman mereka, berkarya sepenuh jiwa. Kerap ujung kisah hidup para seniman pangayah generasi ini, dan juga sebelumnya, terbelit kemiskinan materi dan sakit-sakitan. Tapi, mereka tetap girang, penuh energi hidup, manakala ditemui, diajak menuturkan profesi yang dilakoni.
“Saat ngayah menari saya tak lagi teringat apa pun, kecuali memusatkan perhatian penuh pada tarian. Badan ini bergerak, bergetar, mengalir, begitu adanya, serasa Ida Batara (Dewata) menapak di sini,” begitu penari Legong Bali tenar asal Desa Kedaton, Denpasar, Ni Reneng, kerap bertutur, menunjuk ubun-ubunnya, manakala ditemui di hari-hari menjelang akhir hayatnya.
Pernah, suatu hari, pengarang sastra Bali asal Sanur, Denpasar, Ida Pedanda Made Sidemen, ditemui oleh warga desa di kawasan Kecamatan Kuta Selatan. Warga dua desa menyatakan kepada sang pendeta tak memiliki uang buat membeli emas guna dijadikan elemen dasar (padagingan) bangunan suci. Sang pendeta penekun yoga ini sontak beranjak, mengambil medali emas penghargaan yang diberikan oleh Presiden Soeharto. Medali yang sehari-hari tergantung di dinding rumahnya itu lantas dibagi dua, masing-masing sepotong buat satu desa.
Warga kedua desa tersentak. Tapi, Ida Pedanda Made tetap bergeming, tak bereaksi apa-apa—biasa-biasa saja. “Daripada medali emas itu hanya tergantung di tembok, lebih bagus dijadikan padagingan, dapat bermanfaat untuk lebih banyak orang,” sang pendeta memberi alasan.
Tindakan, kerja, perbuatan, atau berkarma tanpa pamerih, tanpa kemelekatan akan imbalan, itu sesungguhnyalah bukan mimpi, apalagi ilusi semata. Dia bisa nyata, amat sangat nyata, ada, dilakonkan dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan terdekat kita. Kerja tanpa pamerih bukanlah kemustahilan—bahkan di zaman kapitalisme dengan ukuran-ukuran serba material, kebendaan, sekarang ini.
Cuma, tindakan tanpa pamerih itu, kini, mungkin saja terasa kian langka, manakala uang dijadikan sebagai alat tukar paling menentukan—bahkan cenderung satu-satunya, sehingga hidup menjadi tidak ada yang gratis, sebaliknya justru serba membayar (mayah) dengan uang, bukan ngayah. Yang kerap terjadi kemudian, bukan kerja tanpa pamerih, sebagaimana divisikan Gita, justru sebaliknya: menebar pamerih sebanyak-banyaknya tanpa bekerja apa-apa.
Korupsi materi merajalela dahsyat di seantero negeri ini justru karena kebanyakan orang, di semua bidang kehidupan, telah korup di dalam pikirannya masing-masing. Dari otak yang korup, sungguh mustahil lahir tutur kata, kebijakan, apalagi integritas tindakan nyata yang bersih, murni, sebagai sesembahan dan pemujaan. Di sini, Tuhan, sloka-sloka kitab suci, maupun tempat ibadah justru acap diplintir buat membenar-benarkan aksi kaya pamerih model Gordon Gekko.
I Ketut Sumarta

No comments:

About Me

My photo
I'm just an ordinary man who try to live my life...